Minggu, 10 Februari 2013

Pengunjung Tertarik, Produk Ludes Terjual

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=46a26a667aa11df4df3125de617be16c&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc 


SIDOARJO- Banyak cara dilakukan untuk memupuk jiwa kewirausahaan sejak usia dini. Seperti yang dilakukan ratusan anak-anak TK Nurul Fikri Sidoarjo ini, mereka mencoba menjadi sosok wiraswasta dengan menjajakan barang dagangannya ke setiap pembeli. Para murid TK ini menjual beraneka macam barang dagangan, mulai makanan, minuman hingga buku.
Bukan hanya menjual barang, namun bagaimana menarik pembeli dengan pelayanan yang bagus juga mereka terapkan.
Kepala sekolah TK Nurul Fikri, Dewi Ajuni menuturkan, kegiatan ini sebagai wahana belajar memupuk jiwa wiraswasta di usia dini. Dewi ingin memberikan sentuhan langsung terkait bagaimana melakukan proses berdagang dengan mengedepankan pelayanan.
“Biasanya mereka bermain proses jual beli di kelas menggunakan berbagai mainan pendukung. Tapi kali ini siswa-siswa benar-benar merasakan bagaimana menjadi seorang pengusaha,” kata Dewi Ajuni.
Dewi melanjutkan, acara ini sendiri sebagai puncak pembelajaran untuk tema profesi. Ia memilih profesi pedagang, karena pedagang merupakan profesi yang merujuk pada sifat Nabi Muhammad SAW. Rasulullah, lanjut Dewi, berhasil menjadi sosok teladan yang menggambarkan seorang pedagang yang jujur. Selain itu, jumlah wiraswasta yang dimiliki bangsa Indonesi masih jauh dari harapan.
”Sesuai pesan dari Rasullulah, 9 dari 10 pintu rezeki adalah untuk pedagang. Saya harap, anak-anak ini kelak menjadi wiraswasta, artinya kesempatan mereka meningkatkan kesejahteraan bangsa sangat terbuka lebar,” imbuhnya.
Sebanyak 156 siswa-siswi TK tersebut sangat antusias menawarkan barang yang mereka jual ke setiap pembeli yang melintasi stand-stand mereka. Berbagai jajanan seperti gethok, kripik telo, bandeng presto, buku bacaan, dan aneka minuman menjadi barang komoditas yang dijual. Satu stand, di tempati oleh 8 murid, dan ada pembagian tugas sebagai penjual dan marketing. M Pahlevi, seorang murid nampak antusias menarik calon-calon pembeli dengan gaya marketingnya. Sementara siswa lainnya, sibuk memberikan penjelas terkait keunggulan barang yang dijual.”Ini bandeng presto khas Sidoarjo, sangat renyak kok,” kata M Pahlevi.
Dengan penuh percaya diri, murid-murid TK Nurul Fikri menawarkan barang yang mereka jual kepada setiap pengunjung yang kebetulan mendekat. Nampak, anak-anak ini begitu getol menjelaskan produk-produk yang mereka jual tanpa ada rasa malu.
Hal ini yang membikin pengunjung semakin terpancing untuk mengetahui lebih jauh terkait produk olahan yang di jual anak-anak TK tersebut. Entah karena kasihan sudah di jelaskan panjang lebar atau memang tertarik membeli produk olahan itu, nyatanya semua produk-produk olahan itu ludes terjual.
"Ini dibuat dari singkong. Kalau yang ini kripik singkong juga sama bahannya dari singkong juga, beli ya bu," ujar Anissa siswi TK B meyakinkan pengunjung. 
Hanya produk berupa buku bacaan dan buku tulis yang masih tersisa. Ernawati seorang pembeli menuturkan, sebelum dirinya membeli gethok lindri, dia ingin tahu bagaimana anak-anak ini menjelaskan tentang bahan-bahan yang digunakan membuat gethok itu. Setelah puas dengan penjelasan anak-anak tersebut, Ernawati memutusakan membeli gethok tiga bungkus.
”Ya ini kan sebagai bentuk pelayanan ke konsumen. Saya ingin tahu bagaimana mereka menawarkan produknya, sehingga bisa menarik konsumen membelinya,” ungkapnya kepada Surabaya post.
Seorang wali murid, Joko Susanto menuturkan, dia sangat mendukung kegiatan ini . Sebab dia berharap, kegiatan ini bisa memupuk jiwa wiraswasta sejak usia dini. Menjadi seorang pegawai, lanjutnya, bukan hal yang dilarang. Namun, alangkah baiknya menjadi seorang wiraswasta yang bermanfaat bagi orang lain dengan membuka kesempatan kerja. Dia sepakat dengan jiwa pedagang jujur seperti tergambar pada sosok Nabi Muhammad SAW. Dengan mengambil keuntungan yang tidak banyak, Rasulullah membuktikan bisa menjadi seorang pedagang sukses pada eranya.
“Memang perlu pengenalan sejak usia dini tentang bagaimana menjadi seorang pengusaha yang jujur. Nantinya, anak-anak ini memiliki semangat menjadi calon pengusaha. Kebanyakan anak-anak kalo ditanya cita-cita apa, jawabnya pasti dokter atau pilot. Ini perlu diubah, harus mulai sekarang jiwa pengusaha ditanamkan,”  harap pegawai kantor Pajak Pratama Sidoarjo ini kepada Surabaya Post. m37  

Family Day KB-TKIT Nurul Fikri

Nurul Fikri Sidoarjo Peduli Dhuafa

Adu Ketangkasan Balita Ala Nurul Fikri

SALIMAH Sidoarjo Undang Tan Mei Hwa

http://www.beritajatim.com/citizenjurnalism.php?newsid=984


Persaudaraaan Muslimah (Salimah) Cabang Sidoarjo bekerja sama dengan Lembaga Manajemen Infaq (LMI) Sidoarjo, Telkom Indonesia dan Ikadi Sidoarjo. Pengajian bertema ‘Indahnya Persaudaraan’ dengan pembicara Nyai Tan Mei Hwa dari Surabaya.

Ratusan kaum hawa dari berbagai penjuru kecamatan di Sidoarjo memadati Gedung Bappekap Sidoarjo Minggu, 13 Maret 2011. Mereka berbondong-bondong datang sejak pagi mengikuti acara pengajian akbar itu. Sambil menunggu kedatangan bu Nyai, para peserta pengajian dihibur tim Nasyid Salimah Sukodono. Lagu Taubat milik penyanyi Wali sempat membuat suasana tambah meriah karena peserta ikut bersama menyanyikannya.

Biasanya para penggemar da’iyah asal Surabaya ini hanya bisa menyaksikan Tan Mei Hwa dari layar televisi, tapi kali ini para ibu bisa bertatap langsung dengan bu nyai. Tak jarang para ibu-ibu dibuat tertawa karena ekspresi wajah beliau yang mendukung tausiahnya. Pengajian dengan durasi dua jam seakan terlalu cepat karena di sela-sela tausiahnya diselipkan potongan lagu. Bu Nyai yang lincah dan interaktif menyampaikan poin penting tentang indahnya kebersamaan. Walau berbeda warna kulit, berbeda suku, berbeda organisasi tapi persaudaraan harus tetap dijaga.

Dalam sambutannya, Efie Alfianti, Ak selaku Ketua Salimah Sidoarjo mengatakan Salimah sebagai organisasi masyarakat yang mempunyai misi peduli perempuan, anak dan keluarga berharap tali persaudaraan sesama ibu-ibu se-Sidoarjo bisa terjalin dengan baik.
Menjelang siang, suasana hening. Banyak peserta yang meneteskan air mata karena bu Nyai menggelar do’a bersama memohon agar anak-anak yang akan berjuang melaksanakan UNAS bulan mendatang diberi kemudahan dan kelancaran.

Tak ketinggalan, di penghujung puncak acara dimeriahkan dengan door prize yang membuat para ibu-ibu berebut pertanyaan dari panitia. Di sekitar lokasi juga dimeriahkan dengan bazaar berbagai produk seperti jilbab, obat herbal, VCD islami dan sebagainya. Semoga acara tersebut menambah kesejukan hati kaum hawa Kota Udang itu. [Heni- Humas Acara]
Penulis : Jamilatun Heni 
Email : Jamilatunheni@yahoo.co.id

Awali Ekskul Siswa TKIT Berlatih Angklung

http://surabaya.detik.com/read/2009/08/08/142426/1179797/596/awali-ekskul-siswa-tkit-berlatih-angklung

Sidoarjo - Berbagai kegiatan dilakukan untuk membidik bakat dan minat siswa sejak usia dini. Setelah melewati masa orientasi, para siswa TKIT Nurul Fikri Sidoarjo dengan persetujuan dan sepengetahuan orangtua/wali murid diberi kebebasan untuk memilih ekskul atau ekstra kurikulernya masing-masing.

Hari Jumat (7/8/2009) lalu menjadi hari menyenangkan karena secara resmi kegiatan ekstra dimulai setelah diberikan beberapa pilihan berupa gerak dan tari, pidato, puisi, mewarnai dan bermain angklung.

Pengenalan cara bermain angklung-alat musik khas Jawa Barat dimaksudkan sebagai upaya untuk menghargai budaya negeri sendiri daripada sekedar meniru-niru budaya barat. "Tak sedikit budaya sendiri yang sangat dikagumi negara lain, kenapa kita justru tidak menghargainya," kata pembimbingnya.

Kepala TKIT Nurul Fikri Sidoarjo Dewu Ajuni SPd. menegaskan bahwa salahsatu tugas orang tua dan guru terhadap anak-anak adalah memfasilitasi mereka dan mendeteksi bakat kemampuannya sejak dini.

"Orang tua tidak boleh memaksakan kehendak kepada anaknya, ajaklah si kecil berdialog terlebih dahulu," harapnya.

Dengan mengenal alat musik daerah seperti angklung, perkembangan siswa diharapkan dapat optimal. Siswa peminat ekstra angklung cukup banyak dan antusias mengikuti arahan. (jamilatun@plasa.com)

Jahit Estafet Tuk Family Day


http://www.beritajatim.com/citizenjurnalism.php?newsid=1127Ratusan orang tua siswa KB-TK IT Nurul Fikri membanjiri lapangan Panser Sumput Sidoarjo, Minggu, 25/9. Wajah mungil ananda tampak berbinar, tersenyum renyah sambil menggandeng ayah dan bunda untuk mengikuti acara Family Day dengan tema Happy Family for Smart Kids.
Kali ini ayah bunda wajib meluangkan waktu 1 hari untuk menemani anak bermain bersama teman-temannya. Sebab 1 hari buat ananda cukuplah membuatnya bangga dan percaya, bahwa orangtuanya mau meluangkan waktu dan terkadang mengorbankan waktu kerjanya yang sangat sibuk dan penting untuk berkumpul bersenang-senang sejenak.
Untuk memeriahkan acara ini, digelar berbagai lomba diantaranya adalah pantun berkait, lomba antar keluarga menjahit estafet, tebak pantomime, puzzle gambar dan lain-lain. Setiap perlombaan memerlukan ketelitian, telaten dan detail. Seperti lomba jahit estafet untuk TK A. Ayah harus bisa memasukkan benang ke dalam jarum sambil berjalan dan menyerahkan jarumnya kepada bunda. Bunda melanjutkan perjalanannya sambil menjahit kain kemudian dibawa lari ananda ke finis. Lomba berlangsung sangat meriah, penuh tawa, heboh dan seru! “Aku senang bisa ikut karena lombanya seru !" ujar Nafis, siswa TK A.
Kegiatan temu keluarga besar KB-TKIT Nurul Fikri ini bertujuan untuk mensinergikan seluruh wali murid. Kesinambungan antara sekolah dan rumah dapat berjalan dengan baik jika terjalin komunikasi yang harmonis antara orang tua, anak dan guru. Pun halnya keluarga bisa bahagia dan kompak jika terjalin komunikasi orang tua dan anak.
Family Day digelar dalam rangka salah satu agenda besar sekolah sebagai jembatan terbinanya hubungan yang harmonis antara pihak sekolah dan orang tua, tercipta hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak ujar kepala sekolah KB-TKIT Nurul Fikri Dewi Ajuni.



Penulis : Jamilatun Heni 
Email : jamilatunheni@yahoo.co.id

the thief

Para Pemenang Lomba Menulis Guru 2012

http://www.erlangga.co.id/past-event/7300-penerbit-erlangga-sumber-inspirasiku.html?start=2
Selamat kepada para pemenang  Lomba Menulis Guru 2012

JENJANG TK/PAUD/RA
JAMILATUN HENI MARFUAH ---  TK ISLAM TERPADU NURUL FIKRI, SIDOARJO, JAWA TIMUR
AJENG YULIDA ---   TK NASYWA, BANDUNG, JAWA BARAT

JENJANG SD/MI
LINTANG NAWANGSARI, A.MD ---  SDIT ASY-SYUKRIYYAH, TANGERANG, BANTEN
MAKRIFAT, S.PD.I ---SDIT AL-FIKRI, MAKASSAR, SULAWESI SELATAN
DRA. HENI HELMIATI JUHARI, M.M.PD ---- SDPN SABANG, BANDUNG, JAWA BARAT
JUNI DWI RIYANTI, S.PD.I --- SDN 1 TANGKIL KEMALANG KLATEN, JAWA TENGAH

JENJANG SMP/MTS
NURFITRINI RAMADHANI, S.PD ---  SMPN 1 TURIKALE, MAROS, SULAWESI SELATAN
HENGKY OLA SURA ---- SMP SEMINARI BUNDA SEGALA BANGSA MAUMERE, SIKKA, NTT

JENJANG SMA/MA/SMK
BAMBANG KARIYAWAN YS, M.PD --- SMA CENDANA PEKANBARU, RIAU
WIWIN WIJIYANTI, S.PD --- MAN 2 BOJONEGORO, JAWA TIMUR

JENJANG PERGURUAN TINGGI
RONY SETIAWAN --- UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA, BANDUNG, JAWA BARAT
RONNIE RESDIANTO MASMAN, SE, MA, MM ---  FE UNIVERSITAS TARUMANEGARA, JAKARTA, DKI JAKARTA

Berani Kenal IT sejak Dini

Oleh: Jamilatun Heni Marfu'ah
Guru Komputer TK IT Nurul Fikri, Sidoarjo
KEMUNCULAN teknologi komputer sesungguhnya bersifat netral. Pengaruh positif-negatif komputer bisa muncul bergantung pemanfaatannya. Begitulah penuturan Nina Armando (2005), pakar komunikasi Universitas Indonesia.

Menurut pengalaman penulis, pembelajaran komputer (sebagai simbol utama IT) kepada siswa TK masih menyiratkan kekhawatiran berbagai pihak. Ada yang menilai terlalu prematur bila anak TK berakrab-akrab dengan komputer. Mereka memandang belajar komputer sebagai aktivitas serius yang membebani anak. Sebaliknya, ada orang tua yang overekspektasi dan memaksa-maksa balitanya ikut kursus komputer, meski si anak tidak suka.

Komputer sudah menjadi bagian yang hampir tak terpisahkan dengan aktivitas keseharian masyarakat sekarang. Ironis bila pembelajaran komputer siswa TK sebatas ekstrakurikuler yang dipandang sebelah mata.

Idealnya, TK tidak hanya mengedepankan program calistung (baca-tulis-hitung) konvensional dengan target siswa bisa calistung dan diterima di SD. Akibatnya, pengenalan komputer sering dianggap merepotkan atau mengada-ada.

Banyak pakar pendidikan anak yang mengatakan, bakat dan kreativitas anak akan berkembang optimal jika didukung lingkungan kreatif dan kondusif. Sekolah atau keluarga yang menghargai pendidikan dalam suasana aman dan nyaman secara psikologis dapat mengantarkan anak mengembangkan bakat dan kreativitasnya sejak dini. Artinya, lingkungan kreatif dan pemanfaatan masa emas (golden age years) amat menentukan.

Semangat mengenalkan IT kepada anak didik harus terus dipelihara. Sebab, itu akan membantu pengembangan intelektual dan motorik anak. Penyiapan komputer ramah siswa tidak harus keluaran terbaru. Diakui, belum semua sekolah mampu menyediakan perangkat komputer secara memadai. Beberapa TK berinisiatif mengajak siswa ke tempat kursus terdekat. Ada juga yang memanfaatkan komputer bantuan wali murid. Asal ada kemauan, pasti ada jalan.

Saat menerima kekalahan dalam Perang Dunia II, perdana menteri Jepang tak henti-henti memotivasi rakyat untuk mempelajari teknologi sedalam mungkin dan bangkit dari kekalahan. Dia yakin, bangsa yang menguasai teknologi akan memimpin dunia. Hasilnya? Puluhan tahun kemudian, teknologi made in Japan mendominasi pasar dunia.

Meski tidak ada kurikulum pembelajaran komputer, bukan berarti anak didik lalu disuguhi game melulu. Tunjukkan bahwa kotak ajaib tersebut menyimpan banyak manfaat. Mestinya, itu menjadi tantangan untuk berimprovisasi dan berkreasi merancang pengenalan komputer yang menarik. Caranya, bisa saja memadukan kurikulum dasar kemampuan siswa dengan dunia bermain.

Untuk TK A (nol kecil), anak bisa diajak bermain dengan software pendidikan. Kini banyak ditawarkan software puzzle, mewarnai, bahkan bahasa Inggris. Kita bisa juga membuat pembelajaran TK dengan game. Misalnya, dengan program visual basic atau macromedia flash. Penulis pernah mencoba membuat game interaktif-edukatif membaca suku kata dengan tampilan penuh gambar dan musik. Ternyata, siswa antusias. Hasilnya, siswa cepat bisa membaca, meski seakan bermain.

Untuk TK B (nol besar), siswa bisa diajari melek visual dengan program instant artist atau the print shop. Mereka bisa belajar membuat kartu ucapan dengan tulisan dan gambar menarik. Selain itu, dengan paint, anak bisa berkreasi menggambar dan mewarnai sesuai imajinasi.

Tiap guru pasti bangga bila siswanya berakhlak, cerdas, dan melek IT. Bila pengenalan IT berguna untuk memupuk potensi, akankah kita berdiam diri? 
Sumber:
Jawa Pos, 30 Januari 2009

Profesionalitas Guru v Moralitas Siswa


Oleh Jamilatun Heni Marfu’ah
Guru di Nurul Fikri Islamic Education Centre Sidoarjo
  
Publik Sidoarjo terbelalak. Para orang tua, wali murid, anggota DPRD, dan dewan pendidikan terhenyak. Gara-garanya, dalam ujian tengah semester (UTS) yang berlangsung 26 Oktober lalu siswa kelas 6 SD se-Sidoarjo mendapatkan soal tak patut.
Dalam UTS bahasa Indonesia, ada soal cerita berjudul Pengusaha Bandel Dikrangkeng Bareng Mak Erot. Bukan hanya judul, isi soal itu juga dinilai tidak pantas. Anehnya, alasan yang dikemukakan guru pembuat soal tersebut adalah kesibukan mempersiapkan pernikahan anaknya (Jawa Pos, 29/10).
Dalam The Professional Teacher, Norlander-Case, Reagen, dan Charles Case mengungkapkan, tugas mengajar merupakan profesi moral. Zakiah Darajat menyatakan, di samping harus memiliki kedalaman ilmu pengetahuan, guru mesti seorang yang bertakwa dan berakhlak atau berkelakuan baik.
Perilaku guru, langsung atau tidak langsung, berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa, baik yang positif maupun negatif. Jika kepribadian yang ditampilkan guru sesuai dengan segala tutur sapa, sikap, dan perilaku, siswa akan termotivasi untuk belajar dengan baik. Guru sejati tidak hanya mentrasfer ilmu, tetapi juga berbudi pekerti dan dapat menjadi contoh bagi siswa.
Pengaruh seorang guru terhadap anak didik hampir sebesar pengaruh orang tua terhadap anak. Bahkan, kita sering menemukan seorang anak tidak mau mengerjakan saat diperintah orang tua. Tetapi, ketika diperintah guru, dia mau mengerjakan. Meski kasuistik, hal tersebut mencerminkan bahwa pengaruh guru terhadap siswa sangat besar, termasuk dalam pembentukan karakter.
Sebagai kurikulum berjalan, guru seharusnya setiap saat memperbarui dan meningkatkan kemampuan keguruannya. Teladan nyata yang ditunjukkan guru akan lebih mudah melekat dalam perilaku siswa daripada pembelajaran secara verbal.
Aneka cibiran dan komentar sinis masyarakat seakan mengubah citra profesi guru yang dulu dikenal “sakral” menjadi marginal. Publik selalu menyoroti guru sampai sedetail-detailnya. Rusak sedikit citra itu, bisa terjadi isu besar. Meski hanya oknum yang melakukan, semua kena getahnya. Harapan yang membubung membuat masyarakat tidak bisa menerima guru berbuat salah.
Seorang wali murid pernah nggerundel kepada saya. Dia bilang bahwa anaknya yang kutu buku dan selalu juara kini mentok di peringkat kedua. Versi dia, si anak tidak ikut les privat di rumah sang guru. Padahal, teman-teman si bocah yang les dengan polos bercerita bahwa soal ulangan sudah dibahas alias dibocorkan saat les.
Pascaujian nasional lalu, saya dicurhati seorang ibu yang anaknya selalu ranking pertama. Konon, anaknya dipanggil sang guru ke kantor. Intinya, dia diminta menyebarluaskan jawaban kepada teman-temannya. Benar atau tidak, itu tamparan bagi insan pendidikan.
Berdasar catatan Human Development Index (HDI), mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk mengadakan perubahan mendasar. Data statistik HDI menyebutkan, 60 persen guru SD, 40 persen guru SLTP, 43 persen guru SMA, dan 34 persen guru SMK belum layak mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu, 17,2 persen guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya.
Menurut Masruri (2006), guru terbagi dalam empat klasifikasi. Pertama, guru dasar. Mereka yang termasuk kategori itu adalah yang dilahirkan untuk menjadi guru. Dia bersahaja dan santun dalam perbuatan.
Kedua, guru bayar. Itu adalah kelompok guru yang selalu perhitungan terhadap waktu dan tenaga yang dikeluarkan. Bagi dia, profesi adalah mesin pencetak uang. Ada kesan materialistis yang dominan.
Ketiga, guru nyasar. Mereka menjadi guru sebagai pelarian, mungkin salah jurusan atau tidak mendapatkan pekerjaan di profesi lain. Kelompok tersebut masih bisa diluruskan bila kompetensi dan kemauan dirinya terus di-upgrade.
Keempat, guru benar. Itu merupakan guru yang niatnya benar dan tepat dalam empat hal. Yakni, waktu, biaya, tenaga, dan kualitas. Mereka tulus mengabdi demi tugas mulia mencerdaskan bangsa. Spirit berkobar, tak peduli orang berkomentar.
Di masyarakat, tertanam guru adalah sosok yang penuh pengabdian. Pengabdian terhadap murid, sekolah, masyarakat, dan bangsa. Tak aneh, guru hampir selalu dilibatkan dalam berbagai ajang sosial kemasyarakatan. Menjadi panitia penyelenggara pemilu, pilkades, atau pengurus RT. Kadang, demi alasan jangka pendek, guru bertindak melenceng. Mereka menjadi hidden curriculum.
Untuk memaknai profesionalisme, guru perlu introspeksi tentang beberapa hal. Pertama, guru tidak boleh bosan meng-upgrade kemampuan dan keilmuan diri. Zaman terus berubah. Bagi guru, sekolah boleh berhenti. Tapi, belajar harus tetap jalan. Kalau tidak, mungkin benar kritik Franz Magnis Suseno, guru-guru kita tidak terlatih mengantisipasi perubahan. Mereka selalu melihat diri sebagai pemegang otoritas, tetapi dengan kepercayaan diri lemah.
Kedua, senantiasa meningkatkan profesionalisme. Tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik yang sesuai dengan persyaratan untuk tiap jenis dan jenjang. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan, seorang guru harus memiliki empat kompetensi utama. Yaitu, kompetensi pedagogis, kepribadian, profesional, dan sosial.
Ketiga, menjaga keikhlasan dan niat tulus untuk mengabdikan diri demi berkembangnya tradisi pendidikan di masyarakat. Tanpa keikhlasan, ilmu yang diberikan kepada siswa tidak akan terserap secara optimal. Ibaratnya, mata air yang keruh sulit mengalirkan air yang bening.
Tugas dan beban guru memang berat. Berbagai tudingan miring biasa terlontarkan. Semua akan terasa indah dan terjawab bila diimbangi dengan profesionalitas, bukan keteledoran. Bila tidak, silakan tutup telinga atas tuduhan bahwa guru hanya antusias saat mengurus kesejahteraan dan malas untuk perubahan yang lebih baik. (Sumber: Jawa Pos, 1 Nopember 2009).

Saatnya Peduli Aksi Ramah Anak



Mari Kita Ciptakan Fasilitas Publik Ramah Anak. Spanduk persuasif seperti itu belakangan mudah dijumpai di berbagai sudut Kota Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo, tampaknya, sedang giat menunjukkan responsi, kepedulian, dan keberpihakan terhadap problema anak. Maklum, bulan ini, tepatnya 16 Juli, genap tiga tahun usia program Sikara (Sidoarjo kabupaten ramah anak).
Membaca imbauan humanis itu, saya merasa prihatin sekaligus bangga. Prihatin karena banyak fasilitas publik ramah anak yang dirusak atau disalahgunakan. Namun, saya juga bangga. Sebab, dengan aksi Sikara, Sidoarjo termasuk salah satu kabupaten pelopor kepedulian anak di Indonesia.
Bila kita cermati, imbauan itu minimal mengindikasikan dua hal. Pertama, kesadaran warga untuk menciptakan dan menjaga fasilitas publik ramah anak, termasuk sarana bermain bagi anak, masih rendah. Tradisi untuk menjaga, merawat, dan melestarikan fasilitas publik (meski tanpa mengeluarkan uang sepeser pun) masih jauh panggang dari api.
Tak aneh, ayunan dan jungkat-jungkit yang belum lama dipasang di alun-alun kota cepat sekali rusak. Fasilitas main yang dirancang sesuai usia anak juga terlihat sering dipakai orang dewasa dan ABG (anak baru gede).
Suatu pagi penulis mengajak anak-anak bereksplorasi di alun-alun Kota Sidoarjo. Saat si kecil baru mulai berlari-lari, dia berteriak kaget karena kakinya menginjak sesuatu. Ternyata, (maaf) kotoran manusia. Padahal, tak jauh dari lokasi itu sudah disediakan toilet umum.
Kadang saya berpikir, masyarakat kita sering menuntut, berkoar-koar minta disediakan fasilitas. Namun, setelah disediakan, mereka malah merusaknya. Jangan sampai kasus hilangnya mur dan lampu di Jembatan Suramadu menular ke Sidoarjo.
Di Sidoarjo spirit memperhatikan anak sudah terasa dan mengalami banyak kemajuan. Tidak hanya menyediakan sarana fisik, pemerintah juga melindungi anak dengan perda ramah anak. Ada juga pelayanan informasi melalui Mobil Media Informasi Keliling (Monik) Perempuan dan Anak Berperspektif Gender di 353 desa/keluarahan se-Kabupaten Sidoarjo.
Untuk pelajar, ada Zona Selamat Sekolah (Zoss). Implementasinya, masih perlu kesadaran pengguna jalan. Buktinya, meski jalan sudah dicat oranye mencolok, mereka menganggapnya sepi dan tidak melambatkan kendaraan, kecuali dicegat petugas. Ironis memang.
Dua bulan lalu, puluhan anak TK kami berkesempatan berkunjung ke kantor bupati untuk mengenal lebih dekat pemimpin daerah. Mereka bebas berkeliaran mengelilingi lokasi kantor orang nomor satu di Sidoarjo itu. Mereka juga senang sekali melihat beberapa binatang piaraan, gamelan, dan “kantor”. Demikian juga saat ke DPRD. Mudah-mudahan itu menguatkan bukti bahwa pemkab benar-benar memihak kepentingan anak ke depan.
Kabupaten Sidoarjo adalah salah satu kota yang dipilih Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia untuk Uji Coba Model Kota Layak Anak sejak 2006 (www.sikara.web.id). Pemerintah Sidoarjo juga telah mengeluarkan Instruksi Bupati Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2007 tentang Rencana Aksi Sidoarjo Kabupaten Ramah Anak.
Namun, model Sikara secara faktual baru dipahami oleh sebagian kecil masyarakat. Perlu sosialisasi lebih gencar agar pihak-pihak yang terkait kepentingan anak mengetahui dan menerapkannya.
Papalia (1995), melalui buku Human Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak adalah dunia bermain. Dengan bermain, anak menggunakan otot tubuh, menstimulasi indera, mengeksplorasi dunia sekitar, menemukan seperti apa lingkungan yang mereka tinggali, dan menemukan seperti apa diri mereka.
Dengan bermain, anak menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru, belajar kapan harus menggunakan keahlian tersebut, dan memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya. Dengan bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan optimal.
Perkembangan kecerdasan anak usia dini, menurut kajian Pusat Kurikulum Balitbang Diknas 1999, meningkat dari 50 persen menjadi 80 persen. Masa itu merupakan masa peka, masa terjadinya pematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespons rangsangan lingkungan. Upaya pengembangan tersebut harus dilakukan dengan bermain sambil belajar.
Fakta menunjukkan, masih jarang sekolah yang menyediakan fasilitas bermain edukatif bagi anak secara memadai. Entah karena keterbatasan finansial, sempitnya lahan, atau kesadaran pengelolanya masih kurang. Maka, penyediaan fasilitas oleh berbagai pihak jelas angin segar yang menggembirakan.
Tujuan Sikara adalah terlaksananya pembangunan responsif anak berdasar situasi, kondisi, dan kebutuhan anak Sidoarjo. Itu akan tercapai bila didukung kepedulian berbagai pihak. Semoga aksi nyata terus merambah ke kecamatan dan desa-desa.
Jangan sampai niat baik dan dana besar berakhir sia-sia hanya gara-gara ulah tangan jahil yang tidak bertanggung jawab. Fasilitas bermain bagaikan surga dunia bagi anak. Betapa jahatnya kita bila merusaknya.
Bermain adalah hak asasi anak. Toh, keceriaan mereka adalah keceriaan kita juga. Sungguh egois kita yang mampu tapi tak mau menyiapkan fasilitas yang ramah anak. Bila anak-anak menjadi lebih egois dan individualis, itu bisa jadi akibat rendahnya perhatian kita terhadap lingkungan yang ramah anak. Sebaliknya, bila anak-anak berprestasi, itu mungkin karena kita telah berkontribusi terhadap fasilitas mereka. (Sumber: Jawa Pos, 5 Juli 2009).